Senin, 18 November 2013

Wacana Penarikan Guru Perlu Dipertimbangkan


Pemerintah disarankan mempertimbangkan kembali rencana penarikan sejumlah tata kelola pendidikan ke pusat, khususnya terkait dengan guru.
”Memang pengaturan guru perlu lebih baik. Akan tetapi, apakah harus diambil semua kewenang­an atau tidak, itu yang harus dipertimbangkan secara matang,” kata anggota Komisi X DPR, Abdul Kadir Karding, kemarin.
Seperti diketahui, melalui revisi Undang-Un­dang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah sepakat untuk menarik sejumlah tata kelola pendidikan yang selama ini menjadi kewenangan daerah.

Ke depan, tata kelola pendi­dik­an akan menjadi urusan bersama antara pusat, pro­vinsi, dan kabupaten/kota. Namun, terdapat tiga hal yang akan menjadi kewenangan pemerintah pusat, yakni terkait dengan kurikulum, guru, dan standar mutu.
Dia berpendapat, tidak semua tata kelola terkait guru harus menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dia khawatir hal itu justru akan menambah kerja pu­sat, yang berujung pada tidak maksimalnya kinerja.
Karena itu, diperlukan regulasi yang kuat guna mengatur kewenangan tata kelola pendidikan. Apalagi internal pemerintah bersepakat bahwa pendidikan harus diatur secara bersama antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
”Mungkin tidak se­mua kewenangan pengaturan guru diatur pusat, karena pusat sudah terlalu overload,” katanya.
Sementara itu, Federasi Guru Independen In­do­nesia (FGII) mendukung rencana pemerintah untuk mengambil alih tata kelola guru. Salah satu alasannya, karena guru kerap dijadikan sasaran politik lo­kal. ”Saat pilkada, guru rentan dijadikan objek politis,” imbuh sekjen FGII Iwan Hermawan.
Meski demikian, dia berpendapat tidak semua tata kelola guru menjadi tanggung jawab dan kewenangan pusat. Terkait dengan pembiayaan masih harus menjadi kewenangan daerah, karena alokasi pembiayaan guru sudah masuk dalam APBD.
Dampak Negatif
Rencana pemerintah mengubah tata kelola pendidikan dari kewenangan daerah menjadi kewenangan bersama pusat, membawa angin segar, khu­susnya tentang penarikan urusan guru. Pa­salnya, pe­ngelolaan bersama yang terpusat akan menjauhkan guru dari politisasi di daerah.
Pakar pendidikan Universitas Negeri Sema­rang (Unnes), Bambang Br mengatakan, pengelolaan pendidikan yang terdesentralisasi selama ini me­nim­bulkan dampak negatif.
”Desentralisasi tata ke­lola guru menyebabkan fungsi pendidik sebagai penjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi te­reduksi. Bahkan, untuk sebagian malah hilang sa­ma sekali. Padahal, dalam konteks ini guru semes­tinya seperti TNI, yakni menjadi urusan pusat,” kata­nya.
Menurut ketua Lembaga Pengembangan Pendi­dikan dan Profesi (LP3) Unnes itu, desentralisasi tata kelola guru terbukti telah menyebabkan lahir­nya kembali idiom putra daerah secara keliru, ter­utama pada tahap perekrutan.
Akibatnya, anak-anak dari sebuah kabupaten hanya berkesempatan untuk diajar dan mengenal kebudayaan guru yang memiliki latar belakang yang sama atau sedaerah. Pa­dahal, semestinya guru menjadi jembatan multikultural, jembatan antaretnis yang makin mengo­koh­kan bangunan NKRI.
Dewasa ini di semua daerah, guru tak lepas dari kepentingan politik para kepala daerah. Guru dita­rik-tarik untuk memberikan dukungan. Ini jelas ti­dak menguntungkan. Apalagi guru semestinya ber­ada pada posisi netral. Namun, jika tidak, mereka akan terancam, baik dari sisi pembinaan, kesejahte­ra­an, maupun karier.
Bambang menambahkan, seiring dengan rencana pemerintah melakukan sentralisasi, diharapkan ada pembenahan. Di samping itu, Dinas Pen­di­dikan juga harus benar-benar diurusi oleh mereka yang benar-benar melek pendidikan atau berlatar be­lakang pendidikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar